Baru 2 menit aku duduk di bangku oranye ini, metro mini S75 Blok M – Pasar Minggu.
Seorang anak perempuan kurang dari 10 tahun, bermodalkan tamborin dari bekas tutup botol (aku lebih suka menyebutnya écrék-écrék) mulai membagikan amplop lusuh dgn bbrp kalimat presentasi kemiskinan diguratkan di atasnya. Bahasa & gaya tulisannya hampir mendekati kenyataan bahwa itu benar2 ditulis oleh anak seusianya.
Di lain ketika, taxi yg kutumpangi melewati Jl.Cideng menuju Pejompongan, jalan dgn kanal berair pekat di antara kedua jalurnya.
Ia kemudian bergegas menghampiri seorang perempuan paruh baya. Ibu yg duduk santai berteduh di kerindangan bugenvil yg tumbuh di pinggir kanal. Betapa bencinya aku melihat pemndangan ini. Wahai ibu yg di sana, bukankah engkau yg seharusnya memberi makan anak-anakmu..?!? Ataukah gadis kecil itu hanya sekedar modal kerja yg kau sewa entah dari siapa? Terkutuklah engkau & sang pemberi sewa.
Aku mengumpat! Aku gelisah!
Tidak terhitung pentas2 yg dimainkan oleh senior mereka, “kakak” dan bahkan “ortu” mereka. Tampil dgn lakon yg hampir seragam, dengan variasi di sana-sini. Ada yg mengaku habis kecopetan, mengaku mahasiswa yg mengumpulkan dana untuk korban kebakaran, atau remaja masjid yg mengumpulkan dana pembangunan. Ada juga yg mencari biaya pengobatan entah utk dirinya sendiri atau salah seorang kerabatnya yg jadi korban tabrak lari, lengkap dengan semua detil yg mendukung. Namun ada juga yg mengandalkan kejujuran kata-kata lalu menyumbangkan puisi yg lebih mirip pidato politik atau nyanyian lain ber-falsetto ajaib. Bahkan tdk sedikit yg mengandalkan ancaman dan intimidasi, bermodalkan penampilan amburadul, piercing dan beberapa tato buruk di kulitnya.
Semua itu membuatku MUAK..!! Betapa kerasnya hidup ini mampu mengubah kehidupan menjadi tak menyenangkan. Tak lagi ramah untuk dihirup!
Lebih 4 tahun mengajariku bahwa inilah kerasnya hidup di belantara Jakarta. Hidup yg keras, penuh muslihat, penuh intrik, terpenjara di rumah sendiri! Waktu yg cukup utk mengajariku melengos dan mengacuhkan mereka.
This week, I’ve been thinking over it. Oh God.. I don’t want to lose my soul. How poor I am inside, feels like a kick on my stomach. Didn’t realize that even You, The Almighty, has always been so kind to me, Your sinner child. Help me to love.. Help me to vanish this terrible hate, this ashamed ignorance, into air. I’m eager to give a big smile to the little guardian angel of mine, instead of the ugly tiny devil. So please take my hand and teach me how to...
kusiapkan logam2 kecil keperakan. Ini akan menjadi rejeki mereka. Bukan sebagai balas jasa atas karya yg mereka tampilkan, karena secara jujur aku jarang menganggapnya bermutu. Semua yg akan kulakukan lebih sebagai apresiasi thd mereka sebagai manusia, sesama makhluk yg setara di hadapan Sang Khalik. Mencoba menghargai proses dan beban yg mereka hadapi untuk melakukan semua pentas itu.
Benar juga jargon yg sering mereka lontarkan... “uang seribu 2 ribu perak tak akan membuat Anda jatuh miskin..”. Tak akan membuat Mepy jatuh miskin! Walau keterbatasanku sbg manusia masih membuatku tak sudi untuk melunak pada mereka yang “mementaskan” kekerasan, ancaman dan intimidasi. No Way Jose, la yauw...!!!
Sekarang aku sedang sangat serius mempertimbangkan untuk menjadi volunteer bagi sekolah anak jalanan. Informasi yg kudapat, salah satunya ada di TIM, cukup mudah utk kujangkau. Aku hanya ragu pada waktu yg mampu kusediakan. Gimana menurutmu??
Catatan:
- Tulisan ini sangat terinspirasi oleh buku A Child Called ‘It’, bagian pertama dari trilogi karya Dave Pelzer, seorang korban child abuse.
- Gue sadar tulisan ini sangat panjang dgn gaya tulisan yg sangat tidak biasa bagi blog-ku. Sepertinya terpengaruh buku itu juga.
A should read.. very touching & inspiring..!!