Baru 2 menit aku duduk di bangku oranye ini, metro mini S75 Blok M – Pasar Minggu. “Hangat” yang ditinggalkan penumpang sebelumku masih terasa saat semuanya dimulai, The Show Time!!.
Seorang anak perempuan kurang dari 10 tahun, bermodalkan tamborin dari bekas tutup botol (aku lebih suka menyebutnya écrék-écrék) mulai membagikan amplop lusuh dgn bbrp kalimat presentasi kemiskinan diguratkan di atasnya. Bahasa & gaya tulisannya hampir mendekati kenyataan bahwa itu benar2 ditulis oleh anak seusianya.
Kupalingkan wajahku ke arah jendela yg setengah terbuka, mencoba menikmati semrawutnya lalu lintas Jakarta. Udara jalanan menghambur panas, gerah. Berharap semoga telingaku tak harus infeksi mendengar teknik falsetto yg ajaib dan sayup2 itu. Bahkan memandang amplop lusuh itu pun aku enggan. Terbayang berjuta2 bakteri patogen yg melekat di kecoklatan kertasnya. “Jangan cari penyakit deh Mep.. kesehatan mahal!!”, begitu batinku membisik. Kukeraskan hatiku sebagai tanda setuju.. hidup memang keras my man..!! Hidup yg sama dan yg aku hadapi juga!
Di lain ketika, taxi yg kutumpangi melewati Jl.Cideng menuju Pejompongan, jalan dgn kanal berair pekat di antara kedua jalurnya. Seorang anak kumal, gadis kecil yg sebenarnya cukup cantik, menghampir pintu penumpang. Ia mencoba mencuri perhatianku dengan menempelkan dahinya di jendela, mengetuk2 kaca, dan menggerak2an bibirnya seolah hendak menembuskan suaranya. Ketenanganku terganggu. Segera keluar jurus koncian: mengembangkan kelima jari2 tanganku, lalu menghadapkan telapakku yg terbuka kearahnya. Ditambah senyum kosmetik sebagai bonus!
Ia kemudian bergegas menghampiri seorang perempuan paruh baya. Ibu yg duduk santai berteduh di kerindangan bugenvil yg tumbuh di pinggir kanal. Betapa bencinya aku melihat pemndangan ini. Wahai ibu yg di sana, bukankah engkau yg seharusnya memberi makan anak-anakmu..?!? Ataukah gadis kecil itu hanya sekedar modal kerja yg kau sewa entah dari siapa? Terkutuklah engkau & sang pemberi sewa.
Aku mengumpat! Aku gelisah!
Masih banyak fragmen lain yg kusaksikan di sepanjang lintasan aspal ibukota ini. Anak2 kecil yg bermain di bawah fly over sementara sang ibu mengawasi dari seberang jalan, di keteduhan warung kecil pedagang kelontong. Atau dua anak kecil yg bertengak di tengah malam demi memperebutkan secuil lahan parkir. Di tempat lain, anak lelaki kecil menggendong seorang balita perempuan, mungkin adiknya, mengemis di perempatan lampu merah.. pada jam 11 malam..!!! God.. sementara anak2 kebanyakan sudah mulai terlelap dan bermimpi menjadi Kapten Tsubasa.
Tidak terhitung pentas2 yg dimainkan oleh senior mereka, “kakak” dan bahkan “ortu” mereka. Tampil dgn lakon yg hampir seragam, dengan variasi di sana-sini. Ada yg mengaku habis kecopetan, mengaku mahasiswa yg mengumpulkan dana untuk korban kebakaran, atau remaja masjid yg mengumpulkan dana pembangunan. Ada juga yg mencari biaya pengobatan entah utk dirinya sendiri atau salah seorang kerabatnya yg jadi korban tabrak lari, lengkap dengan semua detil yg mendukung. Namun ada juga yg mengandalkan kejujuran kata-kata lalu menyumbangkan puisi yg lebih mirip pidato politik atau nyanyian lain ber-falsetto ajaib. Bahkan tdk sedikit yg mengandalkan ancaman dan intimidasi, bermodalkan penampilan amburadul, piercing dan beberapa tato buruk di kulitnya.
Semua itu membuatku MUAK..!! Betapa kerasnya hidup ini mampu mengubah kehidupan menjadi tak menyenangkan. Tak lagi ramah untuk dihirup!
Lebih 4 tahun mengajariku bahwa inilah kerasnya hidup di belantara Jakarta. Hidup yg keras, penuh muslihat, penuh intrik, terpenjara di rumah sendiri! Waktu yg cukup utk mengajariku melengos dan mengacuhkan mereka. Cukup waktu bagi si setan kecil di samping kepalaku tersenyum. Puas atas kebebalan nurani seorang Mappa. Tersenyum sangat bahagia seolah mengolok2 sang lawan, seorang malaikat kecil yg tertunduk memberengut di seberangnya.
This week, I’ve been thinking over it. Oh God.. I don’t want to lose my soul. How poor I am inside, feels like a kick on my stomach. Didn’t realize that even You, The Almighty, has always been so kind to me, Your sinner child. Help me to love.. Help me to vanish this terrible hate, this ashamed ignorance, into air. I’m eager to give a big smile to the little guardian angel of mine, instead of the ugly tiny devil. So please take my hand and teach me how to...
kusiapkan logam2 kecil keperakan. Ini akan menjadi rejeki mereka. Bukan sebagai balas jasa atas karya yg mereka tampilkan, karena secara jujur aku jarang menganggapnya bermutu. Semua yg akan kulakukan lebih sebagai apresiasi thd mereka sebagai manusia, sesama makhluk yg setara di hadapan Sang Khalik. Mencoba menghargai proses dan beban yg mereka hadapi untuk melakukan semua pentas itu.
Benar juga jargon yg sering mereka lontarkan... “uang seribu 2 ribu perak tak akan membuat Anda jatuh miskin..”. Tak akan membuat Mepy jatuh miskin! Walau keterbatasanku sbg manusia masih membuatku tak sudi untuk melunak pada mereka yang “mementaskan” kekerasan, ancaman dan intimidasi. No Way Jose, la yauw...!!!
Sekarang aku sedang sangat serius mempertimbangkan untuk menjadi volunteer bagi sekolah anak jalanan. Informasi yg kudapat, salah satunya ada di TIM, cukup mudah utk kujangkau. Aku hanya ragu pada waktu yg mampu kusediakan. Gimana menurutmu??
Catatan:
- Tulisan ini sangat terinspirasi oleh buku A Child Called ‘It’, bagian pertama dari trilogi karya Dave Pelzer, seorang korban child abuse.
- Gue sadar tulisan ini sangat panjang dgn gaya tulisan yg sangat tidak biasa bagi blog-ku. Sepertinya terpengaruh buku itu juga.
A should read.. very touching & inspiring..!!
2 comments:
saya terharu....ternyata jiwa sosial seorang mappa besar sekali...masih sempat memikirkan dunia yang seringkali terabaikan ini...bless u my friend!
very touching
Post a Comment